Sebagaimana dalam hadist, “Sebaik-baik lauk adalah cuka” (HR. Muslim, nomor 3824).
Sementara itu menurut Halal Auditor Management Manager LPPOM MUI, Ade Suherman, S.Si., jika merujuk pada Fatwa Mejelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2003 (MUI) tentang “Standardisasi Fatwa Halal”, cuka yang berasal dari khamar baik terjadi dengan sendirinya maupun melalui rekayasa, hukumnya halal dan suci.
Karena ada proses istihalah proses perubahan dari sifat asli menjadi sesuatu yang lain dan disertai dengan lepasnya sifat asli seperti nama, sifat dan karakteristiknya.
Cuka sendiri dibuat dengan 2 tahap proses fermentasi.
Proses ini berlangsung secara berkesinambungan, yaitu proses fermentasi pengubahan glukosa (C6H12O6) menjadi alkohol (C2H5OH) lalu alkohol akan berubah menjadi asam cuka (CH3COOH).
Proses fermentasi langsung mengubah gula menjadi cuka maka status cuka adalah halal seperti halnya dalam pembuatan cuka apel.
Kemudian, pada Fatwa Mejelis Ulama Indonesia Nomor (MUI) 10 Tahun 2018 tentang “Produk Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol/Etanol” juga dibahas terkait cuka yang berasal dari khamar, baik terjadi dengan sendirinya maupun melalui rekayasa, hukumnya halal dan suci.
“Namun, bukan berarti cuka yang kita temukan di pasaran seperti cuka apel sudah pasti halal, sehingga perlu dicermati titik kritis sumber mikroba dan sumber media fermentasinya terletak pada sumber nitrogen untuk nutrien pertumbuhan mikrobanya, yang bisa saja berasal dari ekstrak daging, pepton hidrolisis daging, dan bahan lainnya,” jelas Ade.
Selain itu, setelah menjadi cuka, ada peluang penambahan bahan lain seperti flavour dan pewarna.
Melihat dari bahan dan prosesnya, maka bisa dikatakan flavour dan pewarna memiliki komposisi yang mengandung bahan turunan lemak, baik dari hewan maupun nabati.
Penulis | : | Idam Rosyda |
Editor | : | Idam Rosyda |
KOMENTAR